11 July, 2009

Al-Qur'an Melarang Diskriminasi

Suatu hari pada masa kerasulan, di Mekkah, nabi Muhammad SAW dikunjungi dua kelompok tamu yang datang hampir bersamaan. Semula datang beberapa orang borjuis Mekkah (Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal dan Abbas bin Abdul Mutholib), kemudian datang lagi seorang proletar penyandang tunanetra (Ibn Umi Maktum), keduanya punya tujuan sama ingin tahu ajaran baru yang dibawa Muhammad SAW (walaupun motivasinya belum tentu sama).

Nabi melihat dua kelompok ini sebagai target dakwah yang potensial untuk menjadi jama'ah yang loyal. Hanya saja sebagai manusia dia menilai mana yang paling menguntungkan bagi perjuangannya. Logis jika menilai borjuis lebih bermanfaat, ketimbang proletar. Dari segi jumlah tiga tentu lebih banyak dari pada satu. Dengan pengaruh dan kekayaan yang dimiliki bangsawan Quraisy ini, tentu akan banyak menyokong perjuangan nabi. Maka pada saat itu, sadar tidak sadar, nabi telah melakukan tindakan diskriminatif dengan bermuka masam dan berpaling terhadap seorang tunanetra dan memilih untuk melayani pembesar Quraisy.

Maka nabi mendapat teguran dari Allah SWT, yaitu sebagai berikut:
  1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling
  2. karena telah datang seorang buta kepadanya
  3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa)
  4. atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
  5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup
  6. maka kamu melayaninya
  7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman)
  8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
  9. sedang ia takut kepada (Allah)
  10. maka kamu mengabaikannya
  11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan
  12. maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya
(Q.S. 'Abasa/80;1-12)

Berkaca dari peristiwa tersebut, apakah kita tidak mengulangi kesalahan yang sama, bersikap diskriminatif terhadap penyandang cacat/difabel (different abbility people). Berapa banyak fasilitas publik yang tak terakses oleh difabel, tidak sedikit sarana umum dibuat tidak aksesibel. Sekolah, transportasi umum, perpustakaan, rumah ibadah, bahkan rumah sakit.

Jika nabi diingatkan langsung oleh Allah untuk tidak diskriminatif, siapakah yang mengingatkan kita jika realitasnya juga melakukan diskriminasi? .....(Hariyanto Kamil)

10 July, 2009

JAWS dan Peristiwa Gua Hiro

JAWS (bukan hiu) adalah akronim dari Job Access With Speech yaitu sebuah perangkat lunak pembaca layar (screen reader) yang diluncurkan pertama kali tahun 1989 oleh Ted Henter (seorang programer komputer yang kehilangan penglihatannya karena kecelakaan). Sedangkan peristiwa gua Hira adalah momentum awal dari proses turunnya wahyu (al-Qur'an) kepada nabi Muhammad SAW, yang turun secara berkesinambungan selama hampir 23 tahun. Peristiwa gua Hira ini terjadi sekitar tahun 610 M (13 SH*), saat Muhammad SAW berusia 40 tahun.

Lalu apa hubungan JAWS dengan peristiwa gua Hira ?! , tidakkah keduanya terjadi dalam waktu yang berbeda, dipisahkan oleh tempat dan waktu lebih dari 1000 tahun. Sekilas memang tidak ada hubungannya, namun bila direnungkan secara mendalam terutama dalam konteks information for all (transformasi dari education for all) maka ada korelasinya, yaitu teknologi yang diterapkan dalam JAWS sama metodenya dengan apa yang dilakukan malaikat Jibril saat menyampaikan wahyu pertama kali (Q.S. Al-Alaq; 1-5) kepada nabi Muhammad SAW.

Ketika Jibril memerintahkan Iqra ....! ( bacalah) , Muhammad SAW menjawab saya tidak dapat membaca, lalu diulang sampai tiga kali, namun jawaban nabi tetap sama yaitu "Saya tidak dapat membaca ...". (Dalam banyak literatur dikatakan bahwa nabi Muhammad adalah seorang yang ummi/buta aksara**). Kemudian Jibril menyampaikan wahyu itu secara lisan, didiktekan, di-imla-kan, kata per kata, kalimat per kalimat, dan diikuti oleh nabi hingga informasi itu sampai dan terekam sempurna dalam memori nabi.

Sebuah pertanyaan yang menggelitik, mengapa perintah membaca itu diulang sampai tiga kali? apakah media yang digunakan pada waktu itu tekstual/tercetak sehingga nabi tidak dapat membacanya?Untuk mengetahui jawabannya perlu ditelusur bagaimana sesungguhnya proses penyampaian wahyu kepada nabi-nabi sebelumnya.

Nabi Musa (Moses) saat menerima wahyu Ten Commandment (sepuluh perintah Tuhan) di bukit Tursina (mount Sinai) secara tekstual/tercetak dalam 2 loh batu yang isinya:
  1. Jangan ada Tuhan pada dirimu selain Allah
  2. Jangan membuat patung untuk disembah, karena Tuhan bukanlah patung
  3. Jangan bersumpah sembarangan atas nama Tuhan
  4. Muliakanlah hari Saba'at
  5. Hormatilah ayah ibumu
  6. Jangan membunuh
  7. Jangan berzinah
  8. Jangan mencuri
  9. Jangan bersaksi/sumpah palsu
  10. Jangan iri/mengingini milik sesamamu
Demikian juga wahyu yang diturunkan kepada nabi Ibrahim, informasinya dikemas dalam mushaf (lembaran-lembaran) seperti yang diinformasikan dalam Al-Quran "Inna hadza lafi suhufi al-uula, suhufi Ibrohima wa Musa" (Q.S. Al-A'laa/87; 18-19).

Atas dasar itu, mungkin saja tradisi penyampaian wahyu secara tekstual pada awalnya juga diterapkan oleh Jibril kepada nabi Muhammad. Namun, karena kondisi nabi yang ummi maka Jibril merubah tradisi dari teksual menjadi audio, dari bentuk tulisan ke bentuk suara.
Metode ini jugalah yang digunakan oleh Ted Henter dalam membuat teknologi adaptif bagi tunanetra. JAWS merubah informasi yang ada pada tampilan layar monitor ke bentuk suara, hingga perangkat lunak ini disebut mesin pembaca layar (screen reader).

Kesimpulannya "kreativitas" yang dilakukan oleh malaikat Jibril dalam kasus penyampaian wahyu kepada nabi Muhammad SAW, diaplikasikan ulang oleh Ted Henter dalam teknologi komputer bagi tunanetra. Apa benar demikian ? Wallahu 'alam bi sawab. (Hariyanto Kamil)

*SH= Sebelum Hijriah
** Keummian nabi Muhammad memang dipertentangkan, apakah orang secerdas nabi benar tidak bisa membaca, bukankah nabi pernah mengirim surat kepada raja-raja untuk menyiarkan Islam, sekalipun bukan dia yang menulis tetapi setidaknya dia akan membaca surat itu sebelum dikirimkan, ataukah dia memang percaya isi surat itu sesuai dengan apa yang dia maksud. Bisa jadi pada saat nabi menerima wahyu itu dia belum belajar membaca, karena kemampuan membaca pada zaman itu adalah kemampuan yang langka. (Ingat tidak dapat membaca bukan berarti bodoh, tetapi kondisi yang memaksa demikian, sama halnya dengan kakek buyut kita saat penjajahan Belanda, hanya bangsawan dan pribumi kaya saja yang mampu bersekolah. Sama seperti kondisi orang kulit hitam pada era perbudakan di Amerika, haram untuk belajar membaca). Dalam beberapa kejadian, tawanan perang yang memiliki kemampuan membaca dibebaskan oleh nabi dengan tebusan harus mengajar membaca.

07 July, 2009

Selamat Tinggal Prof.

Prof Dr Badri Yatim (52), Wakil Koordinator Kopertais I, Senin (6/7) pukul 6.55 meninggal dunia di Rumah Sakit Jakarta Medical Center (JMC), Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Almarhum meninggal karena sakit yang dideritanya.

Almarhum dimakamkan di pemakaman UIN Jakarta Ciputat setelah dishalatkan di Masjid Fathullah. Beliau meninggalkan seorang istri dan dua anak. Selamat jalan Bung ....., namamu akan tetap dikenang, terukir dalam karya-karyamu. Terima kasih telah memperkaya khazanah tentang sejarah peradaban Islam.