29 August, 2009

Telkomsel Peduli Difabel

Jakarta - Telkomsel melibatkan 100 pemuda untuk ikut pelatihan teknisi ponsel yang digelar di enam wilayah: Bukit Tinggi, Lampung, Tawangmangu, Tegal, dan dua lokasi di Jakarta, yakni Ancol dan Ragunan. Uniknya, di antara seluruh peserta yang ikut terdapat sejumlah difabel."Di antara seratus peserta yang mengikuti pelatihan ini, kami juga menyertakan sepuluh pemuda yang memiliki cacat tubuh namun masih mampu menggunakan kedua tangannya," sebut GM Corporate Communications Telkomsel, Azis Fuedi dalam keterangan tertulis yang dikutip detikINET, Kamis (27/8/2009)

Pelatihan yang menitikberatkan pada pembekalan teknik dasar reparasi ponsel dan strategi bisnisnya ini, akan digelar selama dua minggu sejak 26 Agustus sampai 9 September dalam event Telkomsel Siaga 2009. Diharapkan, para pemuda terpilih ini dapat mengembangkan potensi diri dalam berwirausaha. Aziz menjelaskan, materi pelatihan merupakan kombinasi dari teori dan praktik, mulai dari pengenalan komponen ponsel, peralatan reparasi, hingga simulasi berbagai kasus kerusakan ponsel dan cara penanganannya. "Melalui metode pelatihan yang sistematik dan memadai ini, kami berharap semoga bisa menjadi bekal bagi para peserta sekaligus menciptakan peluang wirausaha," tandasnya.
(Sumber : detikinet/Achmad Rouzni Noor)

Kursi Roda Skuter Manjakan Difabel

Tokyo - Terobosan baru bagi kaum difabel dihadirkan oleh para ahli robot dan kesehatan di Jepang. Mereka menghadirkan sebuah kursi roda nyentrik, yang memudahkan kaum difabel untuk berpindah tempat. Kenapa nyentrik? Karena tidak seperti kursi roda pada umumnya, kursi roda yang disebut Rodem ini memiliki bentuk mirip skuter. Sehingga pasien atau kaum difabel seolah-seolah sedang mengendarai sebuah skuter.

Rodem dikendalikan dengan joystik dan memiliki pegangan seperti layaknya sepeda motor. Tentunya desain ini memudahkan user untuk mengendalikannya. "Aku percaya ini ide baru untuk sebuah kursi roda," ujar Makoto Hashizume, kepala Veda International Robot Research and Development Centre. Dengan 'kendaraan' ini, pengguna dapat lebih leluasa berpindah tempat tanpa harus terlalu tergantung dengan bantuan orang lain," tambahnya, seperti dikutip detikINET dari AFP, Kamis (27/8/2009).

Ini merupakan penemuan pertama yang ditelurkan Veda Centre yang merupakan proyek bersama antara peneliti robot Jepang Tmsuk Co dan para peneliti dari 10 universitas. Rencananya robot ini akan digunakan untuk bidang kesehatan. Namun, belum ada rencana untuk mengkomersialkannya dalam waktu dekat. Presiden Tmsuk, Yoichi Takamoto menyebut bahwa Rodem masih terlalu sederhana untuk disebut robot. Namun, Rodem akan terus disempurnakan. "Kami akan menambahkan lebih banyak lagi fungsi robot. Misalnya saja, sebuah fungsi yang memungkinkan piranti ini menghampiri tempat tidur saat Anda memanggilnya," tandasnya.
( Sumber : detikinet/Fransiska Ari Wahyu)

13 August, 2009

PADB Melawai Sumbang 100 Alat Bantu Dengar

Dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional tahun 2009 serta Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-64, Pusat Alat Bantu Dengar Melawai (PABD Melawai) kemarin, Kamis (0609) menyumbangkan 100 buah Alat Bantu Dengar (ABD) kepada para penyandang tunarungu yang kurang mampu sebagai bentuk kepedulian PABD Melawai kepada mereka.

Bertempat di Gedung Melawai Group, bantuan yang diberikan kepada 80 orang anak berusia 4 – 18 tahun dan 20 orang dewasa usia 20 – 50 tahun ini dilaksanakan di hadapan perwakilan dari Dinas Sosial serta undangan lainnya. Pemberian bantuan ini hasil kerjasama PABD Melawai dengan Siemens Hearing Instruments Inc – produsen Alat Bantu Dengar terkemuka dan terbesar di Jerman -- serta Federasi Nasional untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (FNKTRI) sebagai pihak yang membantu mencarikan calon penerima bantuan ABD ini, sehingga bantuan dapat diterima oleh mereka yang betul-betul membutuhkan.

“Dasar pertimbangan untuk memberikan bantuan terutama kepada anak anak usia sekolah karena ABD sangat mereka butuhkan dalam proses kegiatan belajar mengajar setiap hari,” jelas Priscilla R.K. Bahana – Direktur Pusat Alat Bantu Dengar Melawai. “Seperti kita ketahui, pengembangan bahasa sangat diperlukan agar mereka mampu berprestasi dan mandiri seperti anak-anak normal, sehingga mereka pun dapat mengembangkan seluruh potensi akademik, disamping tentunya kemampuan lainnya, seperti kemampuan bersosialisasi,” tambah Priscilla.

Mengenai kriteria pencarian pihak yang berhak mendapatkan Alat Bantu Dengar ini, Drs. Totok Bintoro M.Pd , Ketua FNKTRI menjelaskan, “Selain anak-anak yang masih mengenyam bangku sekolah, beberapa orang penerima sumbangan yang sudah beranjak dewasa, sudah bekerja di berbagai instansi, tetapi karena kondisi ekonomi yang belum memungkinkan, mereka belum dapat memperoleh rehabilitasi yang optimal. Oleh karenanya, bantuan ini juga mereka terima untuk memperlancar pekerjaan mereka serta kegiatan sehari-hari lainnya.”

“Gangguan pendengaran bukan aib dan bukan akhir segalanya,” tegas Drs. Anton Subarto, Dipl Aud – audiologist dan pakar pendidikan anak tunarungu dari PADB Melawai. “Namun jika insan-insan tunarungu ini tidak mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi dengan tepat dan semestinya seperti: pemeriksaan pendengaran yang tepat, pemasangan alat bantu dengar yang tepat serta pendidikan yang tepat dengan mengembangkan kemampuan bahasa oral aural dengan baik, mereka akan tetap menjadi manusia bisu.”

Lebih lanjut, Anton menambahkan, bahwa sebaliknya dengan pelayanan rehabilitasi yang tepat, seperti pemasangan dan penggunaan alat bantu dengar yang tepat, pendidikan secara oral dan aural yang tepat, mereka akan mampu berkomunikasi secara oral dan aural dengan baik, mencapai prestasi akademik yang tidak kalah dengan teman-temannya yang tidak mengalami masalah pendengaran.

Contohnya, salah satu penerima bantuan alat bantu dengar pada hari ini bernama Paulus Ganesha – penyandang tuli sejak lahir. Dengan pendidikan yang tepat dan memakai ABD yg tepat, Paulus dapat menyelesaikan pendidikan Sarjana di Universitas Budi Luhur jurusan Sistem Informasi setelah lulus dari SMA Luar Biasa Pangudi Luhur dan sekarang ini telah bekerja sebagai tenaga Middle Java Developer (J2EE) di sebuah perusahaan asing. Paulus adalah salah satu bukti nyata bahwa penyandang tunarungu bukanlah manusia yang tidak dapat berprestasi dan mempunyai masa depan

Program pemberian bantuan 100 buah ABD merupakan wujud nyata kepedulian PABD Melawai terhadap kaum tunarungu yang kurang mampu.

“Kami berharap melalui kegiatan ini kami dapat mempersembahkan mereka sebuah kemerdekaan dalam bentuk yang khusus, sehingga para penderita tunarungu yang hari ini menerima bantuan alat bantu dengar dapat segera merasakan keleluasaan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Dengan demikian, mereka pun dapat terus mencatat berbagai prestasi dalam bidangnya masing-masing,” ungkap Priscilla menambahkan. “Semoga kegiatan ini dapat terus kami lakukan setiap tahun sebagai upaya berpartisipasi dalam usaha memajukan dan mencerdaskan bangsa Indonesia,” pungkas Priscilla, mengakhiri pembicaraan siang itu.
(Sumber : Perempuan.com) & (Foto : Kristianto Purnomo/Kompas)

11 August, 2009

The four finger pianist

Terlahir cacat itu bagiku merupakan anugerah spesial dari Tuhan. Aku sampaikan pesan bahwa kalian bisa melakukan apa pun,” kata Hee Ah Lee (21), pianis asal Korea yang terlahir dengan empat jari.

Ode to Joy karya Beethoven itu mengalun dari piano Hee Ah Lee di Lagoon Tower, Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (28/3) pagi. Itu hanya bagian repertoar sehari-hari Hee, selain juga nomor populer Ballade Pour Adeline, Hungarian Dance dari Brahms, sampai karya Chopin Fantasie Impromptu. Hee memainkan karya itu dengan empat jari.

Ia menderita lobster claw syndrome. Pada masing-masing ujung tangan Hee terdapat dua jari yang membentuk huruf V seperti capit kepiting. Kakinya hanya sebatas bawah lutut hingga tak dapat menginjak pedal piano standar. Untuk bermain piano, pedal sengaja ditinggikan agar bisa diinjak oleh kakinya yang pendek itu. Ia juga mengalami keterbelakangan mental. Kondisi semacam itu mungkin akan dibahasakan orang sebagai kekurangan. Akan tetapi, Hee menyebutnya sebagai, “Special gift, anugerah spesial dari Tuhan.”

Ia bisa memainkan Piano Concerto No 21 dari Mozart bersama orkes simfoni. Ia mendapat sederet penghargaan atas keterampilan bermain piano. Ia berkeliling dunia, termasuk bermain bersama pianis Richard Clayderman di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat. “Aku berkeliling dunia. Aku bermain piano dari sekolah ke sekolah untuk memberi motivasi kepada kaum muda bahwa mereka bisa melakukan apa pun kalau berusaha,” kata Hee. Kasih ibu Hee akan tampil dalam konser Sharing The Strength of Love di Balai Kartini, Jakarta, pada Sabtu (31/3) malam yang digelar promotor Empang Besar Makmur (EBM) bekerja sama dengan Radio Delta FM 99.1 Jakarta dan koran Korea HannhPress. Hee hadir untuk memberi inspirasi kepada orang tentang kekuatan kasih yang mengubah “kekurangan” menjadi kekuatan.

Hee lahir dari Woo Kap Sun (50). Woo telah mengetahui sejak awal bahwa anaknya akan terlahir cacat. Ayah Hee adalah bekas tentara Korea. “Ada sanak keluarga kami menganggap itu sebagai aib. Mereka bahkan menyarankan agar jika kelak lahir, bayi itu dikrim ke panti asuhan,” kata Woo dalam bahasa Korea lewat penerjemah. Woo menolak saran tersebut. Ia menerima Hee sebagai kenyataan dan anugerah. Ia pun menamai anaknya dengan nama indah. Hee dalam bahasa Korea berarti suka cita. Dan Ah adalah tunas pohon yang terus tumbuh, sedangkan Lee nama marga. Hee Ah Lee adalah suka cita yang terus tumbuh bagai pohon. “Ketika lahir saya melihat, ah betapa cantiknya dia. Ini anugerah Tuhan,” kata Woo dengan muka berbinar. “Saya bacakan cerita-cerita sebelum tidur. Saya nyanyikan lagu-lagu untuk dia dalam buaian,” lanjut ibu yang tangguh itu.

Woo merawat, mendidik dan memperkenalkan Hee pada kehidupan nyata. Ia memperlakukan Hee sebagaimana anak-anak lain. Untuk melatih kekuatan otot tangan, Hee diajarinya bermain piano sejak usia 6 tahun. Saat itu, jarinya belum mampu mengangkat pensil. Hee mengenang guru piano pertamanya yaitu Cho Mi Kyong sebagai guru yang keras. Sang guru memperlakukan Hee sebagai murid dengan sepuluh jari. Ia tidak melatih Hee dengan pertimbangan rasa kasihan karena kondisi fisik. “Guru saya bilang, jangan bersikap sebagai orang cacat. Tapi bermainlah sebagai orang normal,” kenang Hee yang selalu ramah dalam bertutur. “Aku berlatih terus hingga lelah dan menangis. Betapa sulit bermain dengan empat jari. Susah sekali bagiku memainkan notasi yang bersambungan,” kata Hee lagi.

Ketika Hee memainkan arpeggio atau memainkan chord secara melodik dan runut, memang terdengar ada not yang terlompati. Tapi, itu tidak merusak melodi ataupun mengubah bangun komposisi. Ia mengaku 70 persen bermain dengan hati dan sisanya dengan teknik yang ia kondisikan untuk empat jari. Pernah menyerah? Patah semangat? “Bayangkan Anda makan satu jenis makanan terus menerus. Aku pernah bosan. Tapi, aku memakannnya terus. Aku berlatih terus menerus,” kata Hee tentang ketekunan. Percaya diri Begitulah, diam-diam sang ibu menanamkan rasa percaya diri. Ia menggembleng Hee agar tumbuh mandiri, penuh percaya diri dan bersemangat baja menghadapi hidup. Bayangkan, untuk bisa memainkan karya Chopin Fantasie Impromptu, Hee berlatih lima sampai sepuluh jam sehari selama
lima tahun. Hasilnya memang luar biasa. Umur 12 tahun, Hee telah menggelar resital piano tunggal. “Ibu menanamkan rasa percaya diri padaku. Bahwa aku harus bisa melakukan segalanya sendiri. Bahwa kalau aku bisa main piano, aku bisa melakukan apa saja. meski aku tahu itu makan waktu banyak,” ungkap Hee. Piano menjadi sahabat dan jendela bagi Hee untuk melangkah di pentas kehidupan. Ia lalui masa kecil dengan bahagia seperti kebanyakan anak-anak.

Ketika ada cercaan orang, Hee menghadapinya secara dewasa. “Teman-teman ada yang mengatai aku sebagai hantu atau monster. Tetapi, aku menerima itu,” kata Hee, tetap dengan senyum. “Aku tidak pernah membandingkan diri dengan orang lain atau merasa beda dengan yang lain. Aku hanya ingin melakukan sesuatu seperti orang lain,” kata Hee pula. He Ah Lee menjadi inspirasi bagi mereka yang merasa diri sempurna untuk berbuat sesuatu bagi kehidupan. FRANS SARTONO (Kompas 29 Maret 2009)