29 July, 2008

Perpustakaan Era Kejayaan Islam

Saat ini semua kemajuan seolah berkiblat ke "Barat", sehingga ilmu perpustakaan pun senantiasa disandarkan ke sana. Padahal sekitar 14 abad yang lalu dunia Islam pernah menjadi kiblatnya.

Jika anda pernah menonton film Robin Hood "Prince of Thieves" (1991) yang dibintangi oleh Kevin Costner dan Morgan Freeman, ada sebuah adegan menarik ketika saat-saat kembalinya Robin Hood ke kampung halamannya. Saat Azeem (Morgan Freeman), seorang muslim dari bangsa Moor, teman sepelariannya, menggunakan teropong untuk melihat pasukan sheriff of Nottingham, Robin Hood terkesima dan menampilkan keluguannya. Ketika Robin Hood melihat lewat teropong itu, serentak dia bangkit sigap menghunus pedang, karena melalui teropong itu, pasukan kuda terlihat begitu dekat. Potongan film memberi gambaran bahwa dahulu, Inggris Raya sebagai pusat "Barat", pernah jauh tertinggal oleh "Timur".

Dahulu "Timur" (Islam & China) pernah menjadi kiblat bagi "Barat". Cordova-Andalusia (Spanyol) seolah menjadi saksi bisu kejayaan itu.

Perpustakaan sangat erat dengan peradaban suatu bangsa, hal ini disebabkan karena keberadaan buku sebagai media perekam yang efektif dalam melestarikan dan mengembangankan pengetahuan manusia. Tongkat estafet terus berpindah dari Yunani, Persia, Islam lalu kini "Barat".

Menurut Syalabi, dalam History of Muslim Education, ada tiga jenis perpustakaan pada abad kejayaan Islam, yaitu perpustakaan umum, semi umum dan pribadi. Masuk dalam kelompok perpustakaan umum adalah perpustakaan masjid, sekolah dan perguruan tinggi. Semi umum untuk kelompok tertentu, dan perpustakaan pribadi dimiliki oleh orang per orang biasanya para cendikiawan dan pembesar. Dari beberapa perpustakaan itu tercatat antara lain Perpustakaan Baitul Hikmah, Perpustakaan Haidari (Najaf), Perpustakaan Ibnu Sawwar (Basrah), Perpustakaan Khazanah Sabur Darul Ilmi (Baghdad), Darul Ilm (milik Syarif Radi), Perpustakaan Masjid Az-Zaid dan perpustakaan-perpustakaan lainnya.

Menurut al-Maqdisi, dalam Nakosteen (1964), pengelolaan perpustakaan pada waktu itu sudah mengenal klasifikasi, seperti disebutkan sebagai berikut:

"Perpustakaan Adud Ad-Dawlah di Shiraz, terdiri dari sebuah galeri yang panjang dengan kamar-kamar penyimpanan (gudang) di sebelahnya. Sepanjang dinding galeri dan kamar-kamar penyimpanan, terletak lemari-lemari buku buku yang berisi banyak rak-rak buku. Buku-buku tersusun di atas rak-rak buku, dan untuk masing-masing cabang ilmu pengetahuan dikelompokan secara terpisah"

"Khalifah al-Hakim II mendirikan sebuah perpustakaan besar di Cordova pada dekade akhir abad kesepuluh ...... perpustakaan terbuka untuk semua orang yang suka menggunakannya; para mahasiswa miskin dan para cendikiawan yang menuntut ilmu pengetahuan menerima bantuan finansial dari Khalifah ..... perpustakaanya berisi sekitar 600.000 volume"


Khalifah sendiri adalah seorang mahasiswa dan cendikiawan terbaik di perpustakaan, hampir seluruh koleksi yang ada dia baca, dan memberi catatan pada setiap buku yang dibaca dan ditelitinya berisi data penulis namanya, nama keluarganya, suku bangsanya dan tahun kelahiran dan kematiannya. Dari seluruh koleksi yang ada dibuat katalog judul dan deskripsi sebanyak 24 volume.

Lalu apa yang menyebabkan kehancuran perpustkaan-perpustakaan besar itu?
Menurut Mehdi Nakosteen ada beberapa faktor penyebab, baik faktor internal maupun eksternal. Peperangan, baik perang Salib maupun perang perebutan kekuasaan antara umat Islam sendiri, menjadi salah satu penyebabnya. Perpustakaan menjadi salah satu target yang dihancurkan banyak karya yang tidak terselamatkan. Namun diduga ada juga kasus karena ego cendikiawan itu sendiri, karena ada indikasi perpustakaan dibakar dengan sengaja setelah cendikiawan tersebut rampung menguasai isi perpustakaan tersebut ( mungkin saja hal ini terjadi karena kekhawatiran sang cendikiawan agar ilmu pengetahuan yang ada jatuh ke pihak yang tidak diinginkannya .... mirip film "Avatar the legend of Aang").

Namun kehancuran sebuah perpustakaan Islam juga pernah terjadi karena kecemburuan seorang istri, seperti yang diceritakan oleh Ibnu Abi Usaibiyyah tentang nasib perpustakaan Pangeran Ben Fatiq:

" Pangeran Ben Fatiq, ingin sekali menjadi master ilmu pengetahuan dan mempunyai sebuah perpustakaan. Begitu turun dari kudanya, ia segera memeluk buku-bukunya dan tidak dapat dipisahkan darinya. Ia tidak mengerjakan apa-apa selain membaca dan menulis....... ia mempunyai seorang istri, seorang wanita bangsawan .."

Setelah Ben Fatiq meninggal, istrinya pergi ke perpustakaan bersama budaknya. Kemudian dia melemparkan ke sebuah kolam air yang cukup besar hingga mampu menampung 1000 buah buku. Buku-buku itu tenggelam dalam kebencian sang istri, karena selama ini ia merasa buku-buku itu lah yang menyebabkan suaminya berpaling dari dia. (Kecemburuan seorang istri, berakibat fatal juga ?!)

2 comments:

  1. judul tesis: Implementasi Kode Etik Pustakawan Dalam Perilaku Pegawai perpustakaan di STAIN Salatiga

    ReplyDelete
  2. Jajang Burhanudin: Kontribusi Fasilitas Perpustakaan dan Kinerja Pustakawan terhadap Kepuasan Pengguna di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

    ReplyDelete