16 September, 2008

Manajemen Zakat

Agama Islam dibangun atas lima sendi yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Dari kelimanya itu, empat sendi lebih bersifat personal, dan yang satu kental dengan nilai sosial, yaitu zakat. Menunaikan zakat selain memenuhi kepatuhan atas perintah Allah, juga mempunyia nilai lain diantaranya menumbuhkan nilai kesetiakawanan sosial.

Setidaknya ada 34 ayat dalam al-Qur'an yang menyebutkan tentang zakat, 15 ayat diantaranya digandeng dengan perintah shalat. Hal ini menunjukan bagaimana pentingnya posisi zakat dalam Islam. Jika shalat adalah sarana untuk melindungi jiwa dari perbuatan keji dan munkar, maka zakat memiliki fungsi multi dimensional. Zakat adalah sarana yang menjembatani kedermawanan si kaya dengan doa para fakir miskin. Zakat adalah suatu ketetapan Allah, dimana bagi si Kaya harta yang dimilikinya sekalipun di dapat dari cara halal, tidak dapat dinikmati sebelum dikeluarkan zakatnya, artinya zakat berfungsi sebagai pembersih dari harta seseorang.

Zakat berbeda dengan pajak, namun demikian ada beberapa kesamaan yaitu sama-sama diperuntukan untuk membiaya kebutuhan manusia yang bersifat duniawi. Bila merujuk pada sejarah Islam, sebenarnya zakat dan pajak sama-sama dikelola oleh negara, yang dalam pengelolaanya diselenggarakan oleh Baitul Mal. Hanya saja zakat adalah kewajiban untuk mengeluarkan sebagian harta yang dibebankan kepada setiap muslim yang ketentuannya telah ditetapkan oleh Allah, sedangkan pajak (dalam konteks Islam) adalah kewajiban yang dibebankan kepada non-muslim yang berada di wilayah penguasa muslim yang ketentuannya dibuat oleh negara.

Dana pajak boleh digunakan untuk ongkos penyelenggaraan negara, namun zakat sudah ditentukan peruntukannya oleh Allah, yaitu :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” QS. At-Taubah : 60

Ayat tersebut secara jelas menyebutkan bahwa zakat diperuntukan kepada 8 asnaf :

  1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.

  2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.

  3. Amil zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.

  4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.

  5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.

  6. Ghorimin: orang yang berhutang Karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.

  7. Fi sabilillah: yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.

  8. Ibnu Sabil: orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Dengan menyebutkan secara eksplisit keberadaan amil zakat menyiratkan bahwa zakat harus dikelola secara profesional, oleh lembaga yang kredibel. Bergesernya pengelolaan zakat dari lembaga Baitul Mal ke tradisi perorangan, disebabkan oleh banyak faktor, melalui kurun waktu yang panjang. Dimulai dengan hilangnya kepercayaan kepada penguasa karena praktek KKN pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Masa-masa selanjutnya gerakan sekulerisme berujung pada dikotomi mana persoalan dunia mana terkait akhirat, yang pada akhirnya negara hanya mengurusi persoalan keduniaan.

Zakat bukanlah kegiatan tahunan, yang terkesan dikerjakan sambil lalu. Tetapi sudah seharusnya zakat dikelola secara profesional. Negara seharusnya secara pro aktif mendorong terciptanya pengeloaan zakat yang profesional, apalagi jika dihubungkan dengan ayat berikut :

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”
QS. At-Taubah ; 103


Jika dikelola dengan baik zakat memiliki potensi untuk mengerakan perekonomian negara dengan meningkatnya kesejahteraan ummat. Jika dikelola dengan baik, zakat tidak hanya bersifat konsumtif tetapi juga produktif. Bukankan sebaiknya memberi kail bukan memberi ikan. Pembagian zakat bukanlah pertunjukan pamer pahala, yang mempertontonkan wajah kemiskinan ummat. Konsep zakat bukanlah konsep yang memelihara budaya malas. Jika dari tahun ke tahun zakat diibagikan tetapi justru mustahik semakin banyak, berarti selama ini zakat tersebut tidak menyentuh esensinya. Pengelolaan zakat yang baik ditandai dengan meningkatnya kesejahteraan ummat.

Menurut anda apakah nilai uang tigapuluh ribu rupiah sebanding dengan hilangannya nyawa? Apalagi jika dilihat dari sudut bahasa zakat itu bermakna menumbuhkan atau menghidupkan. Bagaimana seharusnya pengeloalaan zakat itu dalam konteks kekinian? Rasanya aneh jika seseorang berniat berbuat baik tetapi malah berujung diancam hukuman, kesalahan bukan pada zakatnya, tetapi pada pengelolaannya. Kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang dapat diancam hukuman (pasal 359 KUHP), jika anda adalah H. Syaikhon apa yang anda akan lakukan?


*tulisan ini dibuat sebagai bentuk keprihatinan atas tragedi “zakat” pasuruan

1 comment: